Manfaaat makanan Halal dan dampak makanan Haram & syubhat

Manfaaat makanan halal, dampak makanan haram dan syubhat
oleh : Ustadz Riyanto
Mengonsumsi makanan yang terjamin halal adalah perintah Syariat Islam. Dalam Islam setidaknya terdapat 5 faedah mengonsumsi makanan halal. Secara tegas perintah mengonsumsi makanan halal tertuang dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya, “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS Al-Baqarah: 168).
Mengonsumsi makanan halal memiliki 5 faedah bagi orang yang menjalankannya. Makanan halal yang dimaksud harus mencakup dalam dua kategori. Pertama, halal secara dzatiyah atau dari aspek wujud fisiknya. Kedua, halal dari aspek asal muasalnya. Makanan yang secara dzatiyah halal, namun didapatkan dengan cara yang haram, seperti dengan cara mencuri misalnya, maka tidak akan memperoleh 5 faedah yang sebagaimana berikut:
Pertama :
Menjadikan Lebih Bersemangat dalam Ibadah Makanan sangat mempengaruhi naik-turunnya semangat orang dalam menjalankan ibadah. Jika ia terbiasa mengonsumsi makanan yang haram, maka jiwa dan raganya secara otomatis akan malas beribadah, bahkan aka berani meninggalkan kewajiban. Sebaliknya, jika terbiasa mengonsumsi makanan halal, maka ia akan merasa ringan dan penuh semangat melaksanakan ibadah dan segala kewajiban syariat. Rumus ini sesuai yang diungkapkan oleh seorang sufi terkemuka, Sahl At-Tustari:
مَنْ أَكَلَ الْحَرَامَ عَصَتْ جَوَارِحُهُ، شَاءَ أَمْ أَبَى، عَلِمَ أَوْ لَمْ يَعْلَمْ. وَمَنْ كَانَتْ طَعْمَتُهُ حَلَالًا أَطَاعَتْهُ جَوَارِحُهُ وَوُفِّقَتْ لِلْخَيْرَاتِ
Artinya, “Barangsiapa yang mengonsumsi makanan haram, maka anggota tubuhnya akan tergerak melaksanakan kemaksiatan, baik ia berkenan ataupun tidak, baik ia mengetahui ataupun tidak; dan barangsiapa yang makanannya halal, maka anggota tubuhnya akan tergerak untuk melaksanakan ketaatan, dan akan diberi pertolongan untuk melakukan kebaikan.” (Al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûmiddîn, [Beirut, Dârul Fikr], halaman 104).
Bahkan menurut Imam Abdullah bin Husain bin Thahir, ibadah tidak akan bersih dan tidak terasa atsar-nya pada seseorang kecuali bila makanan yang masuk ke dalam perutnya adalah makanan halal tanpa disertai kesyubhatan. Sebab mengonsumsi makanan halal adalah hal pokok dalam ibadah, dan sesuatu apapun tidak akan tegak kecuali hal pokoknya telah terpenuhi. (Habib Zain bin Smith, al-Manhajus Sâwî, [Hadramaut, Dârul ‘Ilmi wad Da’wah: 2008], halaman 559).
Kedua :
Menjadi Pendorong Terkabulnya Doa Jika ingin doa-doa yang kita panjatkan terkabul, kunci utamanya adalah hanya mengisi perut dengan makanan dan minuman yang jelas kehalalannya. Ini berdasarkan salah satu hadits dimana Sahabat Sa’d bin Abi Waqash meminta kepada Rasulullah saw agar doa-doa yang dipanjatkannya dapat terkabul. Lalu Rasulullah saw menjawabnya:
يَا سَعْدُ، أَطِبْ مَطْعَمَكَ تَكُنْ مُسْتَجَابَ الدَّعْوَةِ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، إِنَّ الْعَبْدَ لَيَقْذِفُ اللُّقْمَةَ الْحَرَامَ فِي جَوْفِهِ مَا يُتَقَبَّلُ مِنْهُ عَمَلَ أَرْبَعِينَ يَوْمًا
Artinya, “Wahai Sa‘d, perbaikilah makananmu, niscaya doamu mustajab (dikabulkan). Demi Dzat yang menggenggam jiwa Muhammad, sesungguhnya seorang hamba yang melemparkan satu suap makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak diterima amalnya selama 40 hari.” (HR At-Thabrani).
Ketiga :
Mejadi Sebab Diberi Keturunan Saleh Salehah Berkaitan hal ini Wali Qutbul Ghauts, Syekh Abdul Qadir al-Jilani, dalam kitabnya al-Ghunyah menjelaskan:
إذَا ظَهَرَتْ أَمَارَاتُ حَبْلِ الْمَرْأَةِ فَلْيُصَفِّ غِذَاءَهَا مِنَ الْحَرَامِ وَالشُّبُهَاتِ لِيُخْلَقَ الوَلَدُ عَلَى أَسَاسٍ لَا يَكُوْنُ لِلشَّيْطَانِ عَلَيْهِ سَبِيْلٌ. وَالْأَوْلَى: أَنْ يَكُوْنَ مِنْ حِيْنِ الزِّفَافِ وَيَدُوْمُ عَلَى ذَلِكَ لِيَخْلُصَ هُوَ وَأَهْلُهُ وَوَلَدُهُ مِنَ الشَّيْطَانِ فِى الدُّنْيَا وَمِنَ النَّارِ فِى الْعُقْبَى، وَمَعَ ذَلِكَ يَخْرُجُ الوَلَدُ صَالِحًا بَارًّا بِأَبَوَيْهِ طَائِعًا لِرَبِّهِ. كُلُّ ذَلِكَ بِبَرَكَةِ تَصْفِيَةِ الْغِذَاءِ
Artinya, “Tatkala tampak tanda-tanda kehamilan wanita, hendaknya suami menjaga makanannya dari yang haram dan yang syubhat agar anaknnya dapat terbentuk atas fondasi dimana setan tidak dapat menjangkaunya. Alangkah baiknya jika kebiasaan menghindar dari makanan haram dan syubhat dimulai saat prosesi pernikahan dan terus berlangsung sampai kelahiran anak, agar suami itu, istri dan anak-anaknya nanti selamat dari godaan setan di dunia dan selamat dari neraka di akhirat kelak. Dengan melakukan hal tersebut, anak akan lahir sebagai anak yang salih, berbakti pada kedua orang tua dan taat kepada Tuhannya. Semua itu karena barokah menjaga makanan (dari yang haram dan syubhat).” (Abdul Qadir al-Jilani, al-Ghunyah, [Beirut, Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah: 1997], juz I, halaman 103-104) .
Keempat :
Menjernihkan Hati Mengonsumsi makanan halal juga berfaedah menjernihkan hati. Kejernihan hati dapat melebur segala penyakit hati serta dapat memunculkan berbagai jawaban atas segala kegundahan yang sering dialami. Dalam hadits dijelaskan:
مَنْ أَكَلَ الْحَلَالَ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً، نَوَّرَ اللهُ قَلْبَهُ وَأَجْرَى يَنَابِيْعَ الْحِكْمَةِ مِنْ قَلْبِهِ عَلَى لِسَانِهِ
Artinya, “Barangsiapa yang memakan makanan halal selama 40 hari, maka Allah akan menerangkan hatinya dan akan mengalirkan sumber-sumber ilmu hikmah dari hatinya pada lisannya.” (HR Abu Nu’aim) Menurut Syekh Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad, bagi orang yang telah cukup tasawufnya, menjernihkan hati membutuhkan tiga kebiasaan penting, yaitu (1) menyedikitkan makanan serta menjaga kehalalannya, (2) tidak berinteraksi dengan orang yang berambisi mengejar nafsu duniawi, dan (3) selalu ingat kematian agar tidak terlalu banyak berandai-andai. (Zain bin Smith, al-Manhajus Sâwî, halaman 561).
Kelima :
Sebagai Obat dari Beragam Penyakit Selain faedah yang bersifat bathiniyah, mengonsumsi makanan halal juga membawa faedah yang bersifat lahiriah dan dapat dirasakan oleh tubuh secara langsung, yakni sebagai obat dari beragam penyakit. Mengenai hal ini, salah satu sufi golongan tabi’in, Yunus bin Ubaid berkata:
لَوْ أَنَّا نَجِدُ دِرْهَمًا مِنْ حَلَالٍ لَكُنَّا نَشْتَرِيْ بِهِ قُمْحًا وَنَطْحَنُهُ وَنَحُوْزُهُ عِنْدَنَا. فَكُلُّ مَنْ عَجِزَ الأَطِبَاءُ عَنْ مُدَاوَاتِهِ دَاوَيْنَاهُ بِهِ فَخَلَصَ مِنْ مَرَضِهِ لِوَقْتِهِ
Artinya, “Kalau saja kami memiliki uang satu dirham dari yang halal, tentu akan kami belikan gandum yang akan kami tumbuk dan kami sajikan untuk kami. Setiap orang sakit yang dokter tidak mampu mengobatinya, maka kami obati dengan gandum yang kami dapatkan dari uang halal, lalu ia pun sembuh dari penyakitnya saat itu juga.” (Abdul Wahab as-Sya’rani, Tanbîhul Mughtarrîn, [Beirut, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah: 2002], halaman 240).
Perkataan Yunus bin Ubaid di atas oleh Habib Zain bin Smith dikategorikan sebagai salah satu contoh nyata mengobati penyakit dengan mengonsumsi makanan halal. Faedah mengobati berbagai macam penyakit pun tidak terbatas pada gandum saja sebagaimana dalam contoh, tapi juga berlaku untuk semua makanan halal secara umum. Khususnya ketika diniati untuk berobat atas penyakit yang dialami oleh seseorang. (Zain bin Smith, al-Manhajus Sâwî, halaman 561).
Demikianlah 5 faedah mengonsumsi makanan halal. Dengan ini dapat kita pahami bahwa di balik perintah syariat mengonsumsi makanan halal, rupanya ada 5 faedah yang sangat sangat bermanfaat bagi jiwa dan raga. Sudah sepatutnya kita memperhatikan makanan dan minuman yang kita konsumsi sekiranya betul-betul halal dari aspek dzatiyah maupun dari aspek cara mendapatkannya. Jika menjadi kebiasaan dan dilakukan secara terus-menerus, insyaallah akan mendatangkan beragam hikmah dan faedah yang dapat kita rasakan langsung dalam kehidupan kita.

4 Bahaya Makanan yang Haram
Perilaku yang salah berdampak buruk tak hanya secara fisik tapi juga rohani. M. Tatam Wijaya Kolomnis Tidak ada yang sia-sia dalam perkara yang telah ditetapkan Allah. Termasuk dalam larangan mengonsumsi makanan yang tak halal. Tidak halal di sini, baik dalam pengertian haram maupun syubhat. Mengapa yang syubhat juga harus dihindari? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengemukakan alasannya. Kemudian, sedikitnya ada empat bahaya yang ditimbulkan dari makanan yang tak halal.
Pertama
energi tubuh yang lahir dari makanan haram cenderung untuk dipakai maksiat. Sahabat Sahl radhiyallahu ‘anhu mengatakan:
من أكل الحرام عصت جوارحه شاء أم أبى ad “Siapa saja yang makan makanan yang haram, maka bermaksiatlah anggota tubuhnya, mau tidak mau” (al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, jilid 2, hal. 91). Pantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan, “Tidaklah yang baik itu mendatangkan sesuatu kecuali yang baik pula” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Secara tidak langsung, hadits ini mengatakan, “Tidaklah yang buruk itu mendatangkan sesuatu kecuali yang buruk.” Lebih berat lagi, makanan tidak halal itu menjadi darah daging keturunan kita atau diberikan kepada keturunan kita, maka kemungkinan keturunan kita menjadi keturunan saleh menjadi kecil. Tak heran jika para ulama akhlak mempersyaratkan diterimanya suatu amal ditopang dengan makanan yang halal. Hal ini dianalogikan kepada hadits tentang sedekah, di mana sedekah tidak diterima kecuali yang berasal dari usaha yang halal.
إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لَا يَقْبَلُ صَلَاةً بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةً مِنْ غُلُولٍ
“Sesungguhnya Allah tabaraka wata‘ala tidak menerima suatu shalat tanpa bersuci dan tidak menerima sebuah sedekah yang berasal dari ghulul (khianat/curang).” (HR Abu Dawud).
Kedua :
terhalangnya doa. Hal itu berdasarkan pesan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kepada sahabat Sa‘d radliyallahu ‘anhu.
يَا سَعْدُ أَطِبْ مَطْعَمَكَ تَكُنْ مُسْتَجَابَ الدَّعْوَةِ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، إِنَّ الْعَبْدَ لَيَقْذِفُ اللُّقْمَةَ الْحَرَامَ فِي جَوْفِهِ مَا يُتَقَبَّلُ مِنْهُ عَمَلَ أَرْبَعِينَ يَوْمًا
“Wahai Sa‘d, perbaikilah makananmu, niscaya doamu mustajab. Demi Dzat yang menggenggam jiwa Muhammad, sesungguhnya seorang hamba yang melemparkan satu suap makanan yang haram ke dalam perutnya, maka tidak diterima amalnya selama empat puluh hari” (Sulaiman ibn Ahmad, al-Mu‘jam al-Ausath, jilid 6, hal. 310). Selain makanan yang baik, amal perbuatan yang baik dan ketaatan secara umum juga dapat menjadi pintu cepat terkabulnya doa.
Ketiga
sulitnya menerima ilmu Allah. Ketahuilah ilmu adalah cahaya, sedangkan cahaya tidak akan diberikan kepada ahli maksiat. Itu pula yang pernah dikeluhkan oleh al-Syafi‘i kepada gurunya Imam Waki‘, sebagaimana yang populer dalam sebuah syairnya:
شكوت إلى وكيع سوء حفظي * فأرشدني إلى ترك المعاصي وقال اعلم بأن العلم نور * ونور الله لا يؤتاه عاصي
Aku mengeluhkan buruknya hapalanku kepada Imam Waki‘ Beliau menyarankan kepadaku untuk meninggalkan maksiat Dan beliau berkata, ketahuilah ilmu ialah cahaya Sedangkan cahaya Allah tak diberikan kepada ahli maksiat Walau as-Syafi‘i tidak menyebutkan sulitnya menerima ilmu akibat makan makanan yang tak halal, tetapi dapat dipahami bahwa makan makanan tak halal itu termasuk perbuatan maksiat. (Lihat: Muhammad ibn Khalifah, Thalibul ‘Ilmi bainal Amanah wat-Tahammul, [Kuwait: Gharas]: 2002, Jilid 1, hal. 18).
Makanan tak halal, kemaksiatan, dan perbuatan dosa secara umum juga berdampak pada malasnya beribadah, sebagaimana yang pernah dirasakan oleh Imam Sufyan al-Tsauri,
“Aku terhalang menunaikan qiyamullail selama lima bulan karena satu dosa yang telah aku perbuat.” (Lihat: Abu Nu‘aim, Hilyatul Auliya, [Beirut: Darl KItab], 1974, Jilid 7, hal. 17I).
Keempat
ancaman keras di akhirat. Bentuk ancamannya apalagi jika bukan siksa api neraka. Ancaman ini jelas disampaikan dalam Al-Quran dan hadits. Di antaranya ancaman api nereka bagi orang yang makan harta anak yatim dan harta riba.
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوالَ الْيَتامى ظُلْماً إِنَّما يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ ناراً وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيراً
“Sesungguhnya orang-orang yang
memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka), (QS al-Nisa’ [4]: 10).
Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya,” (QS Al-Baqarah [2]: 275).
Ancaman siksa neraka yang bersifat umum akibat makanan tak halal juga disampaikan Rasulullah shallallah ‘alaihi wasallam:
كُلُّ لَحْمٍ وَدَمٍ نَبَتَا مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِمَا
“Setiap daging dan darah yang
tumbuh dari perkara haram, maka neraka lebih utama terhadap keduanya,” (HR Al-Thabrani). Maka marilah kita berusaha semaksimal mungkin menghindari perkara yang tak halal, baik yang haram maupun yang syubhat. Mengapa yang syubhat juga harus dihindari? Karena menghindari yang syubhat merupakan benteng dalam menjauhi yang haram. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah berpesan, “Siapa saja yang jatuh kepada perkara syubhat, maka ia akan terjatuh kepada perkara haram.” (HR Muslim). Kaitan menghindari perkara syubhat, kita ingat kepada kisah Abu Bakar yang memuntahkan makanan yang telah ditelannya. Berikut adalah kisah lengkapnya. Pada suatu hari, Abu Bakar dibawakan makanan oleh pelayannya. Beliau pun menyantapnya. Lantas ditanya oleh si pelayan, “Apakah engkau tahu makanan itu? Beliau menjawab, “Memangnya makanan apa itu? Dijawab oleh si pelayan, “Pada zaman Jahiliah aku biasa meramal untuk seseorang. Aku sendiri tak mumpuni soal ramalan, sehingga aku sering mengelabuinya. Saat itu pun orang itu datang menemuiku dan memberiku makanan itu. Dan makanan itu pula yang engkau makan.” Mendengar demikian, Abu Bakar langsung memasukkan jarinya (ke mulut), dan memuntahkan semua yang sudah masuk ke dalam perutnya (HR Al-Bukhari). Dari empat poin di atas, dapat dipahami bahwa betapa bahayanya makanan yang tak halal bagi kita, baik terhadap diterimanya amal, dikabulkannya doa, dibukanya cahaya Allah, maupun terhadap keselamatan kita di akhirat.
Rasulullah SAW pernah memanggil sahabat Ali bin Abi Thalib dan memberikan sejumlah wasiat kepadanya. Di antara wasiat nabi kepada Ali adalah berkaitan dengan halal dan haram. Wasiat ini pun tertulis dalam kitab Wasiyatul Mustofa sebuah kitab berisi wasiat-wasiat Rasulullah kepada Ali bin Abi Thalib yang dihimpun Syekh Abdul Wahab bin Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Musa Asy Syarani Al Anshari Asy Syafi’i Asy Syadzili Al Mishri atau dikenal sebagai Imam Asy Syarani.
Pertama:
يا علي. من اكل الحلال صفا دينه، ورق قلبه، ولم يكن لدعو ته حجاب
Wahai Ali, barang siapa yang makan makanan halal maka agamanya akan bersih, hatinya akan lembut, dan tidak akan terhalang doanya.
Kedua:
يا علي، من اكل الشبها ت اشتبه عليه دينه واظلم قلبه ومن اكل الحرام مات قلبه وخف دينه وضعف يقينه و حجب الله دعوته وقلت عبادته
Wahai Ali, barang siapa yang makan makanan syubhat, maka agamanya akan syubhat dan hatinya akan menjadi gelap (maksudnya orang yang makan syubhat hatinya tidak akan bisa menerima nasihat agama sehingga gelap hatinya). Dan barang siapa yang makan makanan haram maka akan mati hatinya, ringan agamanya (menyepelekan agama), lemah keyakinannya, doanya akan terhalang dan sedikit ibadahnya.
Sebagai tambahan apabila kita makan dan minum haruslah selalu berdoa kepada Allah SWT minimal dangan membaca basmalah serta usahakan dengan posisi duduk dan makan minum dengan tangan kanan
Demikian semoga bermanfaat untuk kita semua khususnya untuk pribadi saya semoga kita semua senantiasa dijaga Allah SWT dari berbuatan dosa dan dari makanan, minuman yang haram dan syubhat.
